Yangdimaksud dengan "meniadakan" adalah menjauhi sesembahan selain Allah baik Malaikat yang dekat dengan-Nya atau pun para Nabi dan Rasul yang diutus. Sedangkan yang dimaksud dengan "menetapkan" adalah menetapkan sesembahan yang benar hanya milik Allah semata. Adapun sesembahan yang lain semuanya sesembahan yang batil. Suatu saat, penulis menemukan gambar yang menarik di internet. Pada gambar tersebut, terbaring gambar angka tidak jelas 6 atau 9 secara horizontal di lantai. Di ujung-ujung gambar angka tersebut terdapat dua orang yang berdiri saling berhadap-hadapan. Orang pertama menunjuk gambar angka yang tergeletak di lantai dan berkata “six!” karena dari sudut pandangnya terlihat seperti angka 6, sementara orang kedua menunjuk gambar angka yang sama dan berkata “nine!” karena dari sudut pandangnya terlihat seperti angka 9. Di bawah gambar tersebut kemudian tertulis caption “Just because you are right, does not mean, I am wrong. You just haven’t seen life from my side” hanya karena anda benar, bukan berarti saya salah. Anda hanya belum melihatnya kehidupan dari perspektif saya, mengindikasikan kebenaran tidaklah tunggal dan bersifat relatif. Dalam diskusi keagamaan, ada juga yang menggunakan argumen sejenis untuk mengutarakan pandangannya. Ketika ditanya benar/salahnya perilaku homoseksual, seorang mahasiswa Muslim dengan gagah atau gegabah mengatakan “Kebenaran itu hanya milik Allah! Kita tidak punya hak untuk menyalahkan orang lain!” Ketika ditanya tentang status kebenaran ajaran agamanya, seorang cendekiawan Muslim berkilah “Benar menurut saya belum tentu benar menurut orang lain. Kebenaran itu relatif, yang mutlak hanyalah Allah.” Perkataan-perkataan tersebut mengesankan bahwa sepanjang diucapkan manusia, kebenaran itu relatif. Manusia tidak mungkin dan tidak akan pernah tahu kebenaran yang hakiki, karena ia hanyalah milik Allah. Oleh karenanya, haram hukumnya jika merasa benar – apalagi sampai menyalahkan orang lain. Benarkah hanya Allah yang tahu kebenaran? Tulisan ini dibuat untuk menjawab permasalahan tersebut. Untuk menilai kevalidan klaim “kebenaran hanya milik Allah”, pertama harus ditanyakan dulu, “mungkinkah manusia mengetahui?” Jika jawabannya “tidak”, maka dengan sendirinya benarlah klaim tersebut – sepanjang masih percaya adanya Allah. Namun demikian, benarkah begitu? Inilah yang menjadi titik tolak pembahasan tulisan yang sedang anda baca. Pertanyaan “mungkinkah mengetahui” merupakan permasalahan asasi dalam epistemologi. Pertanyaan ini sudah mengemuka dari sejak zaman Yunani kuno. Pada zaman tersebut lahir aliran yang bernama sofisme. Menurut kaum sofis, semua kebenaran itu relatif. Ukuran kebenaran itu manusia man is the measure of all things. Karena manusia berbeda-beda, jadi kebenaran pun berbeda-beda tergantung Sofisme klasik kemudian bereinkarnasi menjadi skeptisisme dan Penganut skeptisisme senantiasa bersikap skeptis terhadap segala hal. Ia senantiasa meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Baginya, semua pendapat tentang semua perkara termasuk yang qathi dan bayyin dalam agama harus selalu terbuka untuk diperdebatkan. Sementara itu, penganut relativisme epistemologis menganggap semua orang dan golongan sama-sama benar, semua pendapat agama, aliran, sekte, kelompok, dan lain sebagainya sama benarnya, tergantung dari sudut pandang masing-masing. Menurut paham ini, kebenaran berada dan tersebar di mana-mana, namun semuanya bersifat Islam tentu saja menentang paham sofisme dengan segala macam bentuk reinkarnasinya. Dari sejak awal surat, Al-Qur’an mengajarkan agar manusia mencari kebenaran, karena kebenaran itu ada, dan kesalahan pun beserta orang-orang yang salahnya juga Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan jalan mereka yang dimurkai, dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Al-Fatihah 1 6-7 Ayat ini kita panjatkan sekurang-kurangnya 17x sehari dalam shalat wajib. Maka dari itu, sebenarnya sangat absurd jika seorang Muslim bersikap emoh terhadap kebenaran, meskipun dibungkus dengan kemasan’ yang cantik seperti “kebenaran hanya milik Allah”. Mengetahui tidaklah mustahil. Jadi bukan seperti yang sering diklaim oleh kaum sofis, relativis, skeptik, dan agnostik serta para penurut dan pembeonya hingga akhir zaman. Dalam hal ini, keyakinan dan pendirian Ulama kaum Muslimin Ahlus Sunnah wal Jama’ah disimpulkan secara ringkas dan akurat oleh imam An-Nasafi dalam kitabnya Haqaa’iq al-asyyaa’ tsaabitah, wa l-ilmu bihaa mutahaqqiq, khilaafan li s-suufasthaa’iyyah. Artinya, hakikat quidditas atau esensi segala sesuatu itu tetap dan oleh karena itu bisa ditangkap, tidak berubah sebab yang berubah-ubah itu hanya sifatnya, , , atau -nya saja, sehingga segalanya bisa diketahui dengan jelas, sehingga manusia bisa dibedakan dari monyet, ayam tidak disamakan dengan burung, roti dengan batu, atau akar dengan ular. Demikian pula hal-hal tersebut di atas, semuanya tidak mustahil untuk diketahui dan dimengerti, dapat dibedakan dan bisa dijelaskan. Firman Allah SWT dalam surat Az-Zumar 39 9 Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?5 Mungkin ada yang berkomentar, “Pada kenyataannya para ulama juga berbeda pendapat dalam perkara agama, bukankah itu berarti kebenaran itu relatif?” Mengenai hal tersebut, Nashruddin Syarief berkomentar dalam bukunya Menangkal Virus Islam Liberal sebagai berikut Terkait dengan adanya ikhtilaf di antara ulama yang sering dijadikan pembenar bahwa tidak ada kebenaran yang pasti, maka tentu harus dibedakan dulu mana yang qath’i dan mana yang zhanni, mana yang ushul dan mana yang furu’. Karena pastinya para ulama tidak mungkin berikhtilaf dalam masalah yang ushul dan qath’i. Kalaupun masih ada juga yang berbeda dalam kedua masalah tersebut, maka itulah orang-orang yang masuk kategori sayyi’ah dan Pun demikian bisa saja ada yang membantah “para ulama juga biasa menyebut Namun Tuhan lebih dan paling mengetahui apa yang benar’ wa Allahu a’lam bi-s shawaab, bukankah itu berarti hanya Tuhan yang paling mengerti kebenaran?” Mengenai hal tersebut, Dr. Syamsuddin Arif memberikan tanggapannya dalam buku Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Berikut tanggapannya Memang betul, ketika menafsirkan kitab suci, kita tidak boleh mengklaim bahwa kita benar-benar telah memahami maksud firman Tuhan. Tidak boleh merasa seolah-olah kita telah menangkap maksud kata-kata Tuhan yang sebenarnya. Itulah sebabnya mengapa para ulama salaf selalu mengakhiri fatwa dan karya mereka dengan kalimat “Namun Tuhan lebih dan paling mengetahui apa yang benar” wa Allahu a’lam bi-s shawaab. Kalimat ini sering disalahpahami. Para ulama salaf mengatakan ini bukan karena mereka ragu-ragu atau skeptis, bukan pula karena mereka menganut relativisme. Dalam masalah keilmuan, ulama salaf sangat tekun, teliti, dan teguh dalam berpendirian dan berargumentasi, sebagaimana dapat dilihat dalam literatur fiqih dan ilmu kalam. Kalimat tersebut mereka ucapkan semata-mata karena adab kepada Tuhan’ yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Adapun dengan sesama manusia, sikap yang ditunjukkan adalah kesanggupan menerima dan mengikuti kebenaran, dan bukan menampik atau mempertahankan Jadi, mengetahui itu mungkin saja dicapai oleh manusia. Dalam Islam pun ada perkara yang qath’i, bersifat pasti. Contohnya, dari dulu sampai sekarang Al-Ikhlas pasti dimaknai sebagai Tauhid. Dalam Islam, tidak pernah keesaan Allah dimaknai sebagai “esa tapi beranak-pinak”, “esa tapi termanifestasi dalam beberapa jenis Tuhan”, dll. Sama halnya dengan perintah shalat, shaum Ramadhan, zakat, naik haji, dll semuanya adalah tetap. Setiap Muslim, laki-laki maupun perempuan, remaja maupun dewasa, tinggal di negara Islam maupun negara sekuler, tetap wajib melaksanakannya. Sama juga halnya dengan keharaman khamr, zina, dan homoseksual. Semuanya tetap dan independen terhadap zaman – untuk menolak yang beranggapan bahwa ajaran Islam seluruhnya harus disesuaikan dengan zaman. Lalu, bagaimana caranya kita mengetahui? Tentunya dengan belajar, mencari ilmu. Berkenaan dengan ini, kita beruntung karena terdapat warisan khazanah intelektual Islam bukan warisan doktrin yang tidak terhitung jumlahnya. Tidak perlu bersikap relativis ataupun skeptis, sebab manusia bisa tahu yang benar. Wallahu Alam Daftar Pustaka [1] Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, hlm. 89 dalam Nashruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal, Bandung Persis Pers, 2010, hlm. 146. [2] Nashruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal, Bandung Persis Pers, 2010, hlm. 146-147. [3] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta Gema Insani, 2008, hlm. 140-141. [4] Nashruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal, Bandung Persis Pers, 2010, hlm. 147. [5] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta Gema Insani, 2008, hlm. 203-204. [6] Nashruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal, Bandung Persis Pers, 2010, hlm. 148. [7] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta Gema Insani, 2008, hlm. 151-152.

yangingin mencari kebenaran hakiki? Mari kita diskusikan di sini dengan hati yang bersih, hati yang lapang. Bukan berdebat pokrol bambu. Salam AMH. Top. AkuAdalahAink Posts: 1083 Joined: Thu Mar 11, 2010 2:44 pm. Re: KEBENARAN HAKIKI. Post by AkuAdalahAink » Thu May 27, 2010 2:44 pm.

Kemuliaanitu hanya milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin, tetapi orang-orang munafik tidak mengetahuinya. (QS al-Munafiqun [63]: 8). Akan tetapi, kemuliaan tersebut merupakan pancaran dan anugerah dari Allah.[5] Inilah secara umum tafsir surat an-Nisa' (4) ayat 138-139 di atas.
KEBENARAN* *Kebenaran* Hakiki Hanya Milik Allah dan Hanya Allah Tuhan Semesta Alam Yg Tahu Kebenaran yang Sebenar Benarnya Tidak Ada Salah dan Benar Jump to. Sections of this page. Accessibility Help. Press alt + / to open this menu. Facebook. Email or phone:
Makatentunya hanya Allah sajalah yang tahu bagaimana manusia seharusnya hidup, untuk apa dia hidup, serta apa tujuan dia hidup. Semua itu telah diatur oleh Allah, manusia hanya cukup bersandar serta mentaatinya saja. Akhi dan ukhti sekalian, sekali lagi saya katakan, inilah sebuah konsep kebenaran yang hakiki.
Kemuliaanitu hanya milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin, tetapi orang-orang munafik tidak mengetahuinya. ( QS al-Munafiqun [63]: 8 ). Akan tetapi, kemuliaan tersebut merupakan pancaran dan anugerah dari Allah. [5] Inilah secara umum tafsir surat an-Nisa' (4) ayat 138-139 di atas.
mZkl3.
  • xhvbr94160.pages.dev/155
  • xhvbr94160.pages.dev/501
  • xhvbr94160.pages.dev/401
  • xhvbr94160.pages.dev/42
  • xhvbr94160.pages.dev/10
  • xhvbr94160.pages.dev/405
  • xhvbr94160.pages.dev/409
  • xhvbr94160.pages.dev/129
  • kebenaran hakiki hanya milik allah